Sebagai bagian dari sebuah bangsa, kita tidak bisa melepaskan diri
dari keterlibatan, minimal keterpengaruhan dengan hiruk pikuk kegiatan politik.
Terlebih tahun ini adalah tahun politik, yakni adanya Pileg dan Pilpres yang
sebentar lagi akan digelar, yang tepatnya akan diselenggaran pada tgl. 17 April
2019. Tentu sebagai warga masyarakat berharap, siapapun yang terpilih, bisa
mengemban amanah yang dibebankan kepada mereka yang terpilih tersebut.
Tentu rakyat
tidak berharap janji-janji politik yang diumbar, yakni janji-janji yang hanya
sekedar slogan dan menyenangkan sesaat, tapi tidak bisa menjawab berbagai
persoalan yang tengah terjadi.
Rakyat berharap,
momentum pemilihan anggota legislatif dan Presiden kali ini benar-benar bisa
menjawab harapan dan keinginan rakyat, yakni ingin lebih maju dan lebih baik.
Bukan sebaliknya.
Jangan biarkan
rakyat kecewa terhadap pemimpin yang ingkar janji, yakni tidak sesuai yang
diharapkan.
Pileg dan Pilpres
yang kita akan hadapi jangan dianggap hanya sebagai agenda rutin lima
tahunan dan tidak lebih dari itu. Padahal, dampak salah memilih pemimpin ini
pun tidak main-main. Kesalahan dalam memilih pejabat publik akan berimplikasi
pada munculnya kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai dengan kehendak rakyat
yang cenderung abai terhadap janji dan program selama kampanye. Bahkan tidak sedikit
pejabat publik yang melakukan praktik korupsi, dan tersangkut kasus hukum
lainnya.
Kelalaian pejabat publik dalam
melaksanakan janji dan program selama kampanye tidaklah memiliki dampak secara
hukum publik maupun hukum privat. Faktanya seorang pejabat publik yang
mengingkari janji dan program selama kampanye tidak dapat digugat secara
perdata maupun dituntut secara pidana di muka pengadilan. Ini pulalah yang
menyebabkan pejabat publik tidak merasa terikat untuk menepati janji dan
programnya.
Karena janji dan program yang
disampaikan saat kampanye tidak berdampak secara hokum, maka seharusmya membuat
rakyat lebih berhati-hati menggunakan hak pilihnya. Karena instrumen hukum kita
tidak mengatur bilamana pejabat publik mengingkari janji dan program kampanyenya
sebagaimana halnya dalam hukum perdata.
Pelaksanaan janji dan program
kampanye hanya memiliki pertanggungjawaban secara moral (etika). Keharusan
dalam melaksanakan janji dan program tersebut kembali kepada pejabat publik itu
apakah mau melaksanakannya atau hanya menjadikannya sebagai pemanis untuk
mendulang suara.
Dukungan yang diberikan rakyat
melalui partai dan pejabat publik tersebut bersifat imperatif yakni wajib
dengan sendirinya. Partai dan pejabat publik memiliki keharusan untuk
memperjuangan aspirasi pendukungnya. Rakyat sebagai pemilih hak politik,
sosial, dan ekonomi berhak untuk mendapatkan keuntungan dari pejabat publik
yang secara langsung didukung rakyat.
Pejabat publik yang telah
terpilih harus menyadari bahwa dirinya dapat menjadi pejabat karena adanya
dukungan rakyat yang secara imperatif harus menggunakan kekuasaannya
sebesar-besarnya untuk rakyat.
Waspada Memilih Pemimpin
Dalam hadits Imam al Hakim,
Nabi saw menyatakan “bahwa pemimpin kamu itu cerminan kamu”. Maksudnya, jika
rakyatnya atau pemilihnya orang-orang yang baik dan shaleh, maka akan muncul
pemimpin yang baik dan shaleh pula. Akan tetapi sebaliknya, manakala pemilih
itu dari kalangan pendurhaka dan pembuat kerusakan, maka akan muncul pemimpin
yang setipe itu.
Oleh karenanya, para ulama
mengingatkan bahwa jika kita menginginkan pemimpin yang baik, maka kita harus
memulai perbaikan itu dari diri kita dan masyarakat, sebab ada satu kaidah yang
sudah baku dan terbukti dalam sejarah, “Sebagaimana keadaan kalian,
begitulah keadaan pemimpin kalian”.
Seorang
khalifah dari dinasti Bani Umayyah mendengar
perkataan buruk rakyatnya tentang pemerintahan yang dipimpinnya. Karena
hal itu, sang khalifah mengundang dan mengumpulkan para tokoh dan
orang-orang yang berpengaruh dari rakyatnya. Dalam pertemuan itu khalifah
berkata, “Wahai rakyatku sekalian! apakah kalian ingin aku menjadi khalifah
seperti Abu Bakar dan Umar? Mereka pun menjawab, “ya”. Kemudian khalifah
berkata lagi, “Jika kalian menginginkan hal itu, maka jadilah kalian seperti rakyatnya
Abu bakar dan Umar! karena Allah swt yang Maha Bijaksana akan memberikan
pemimpin pada suatu kaum sesuai dengan amal-amal yang dikerjakannya. Jika amal
mereka buruk, maka pemimpinnya pun akan buruk. Dan jika amal mereka baik, maka
pemimpinnya pun akan baik. (Syarh Riyadh Al-Shalihin, Syaikh
Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin)
Sepenggal kisah di atas adalah peristiwa yang terjadi dalam lingkaran
kehidupan berbangsa dan bernegara yang didalamnya terdapat dua komponen
penting, yakni rakyat dan pemimpinnya. Pemimpin dan pemerintahannya memiliki
kewajiban mengayomi dan melindungi rakyatnya, sekaligus wewenang untuk
bertindak tegas demi terciptanya keberlangsungan hidup yang tertib, teratur dan
aman. Sedangkan rakyat berkewajiban menaati setiap peraturan dan kebijakan
pemimpinnya.
Setiap rakyat akan
selalu mendambakan pemimpin ideal yang bertanggungjawab melaksanakan
kewajiban-kewajibannya dan memenuhi setiap hak rakyat. Akan tetapi pemimpin
yang didambakan tersebut bukan sesuatu yang ada begitu saja. Pemimpin ternyata
juga sangat tergantung kepada seperti apa kualitas rakyat yang dipimpinnya.
Kisah di atas merupakan penjelasan atas kenyataan ini. Yakni kenyataan bahwa
pemimpin yang baik hanyalah untuk rakyat yang baik. Dan pemimpin yang buruk
hanyalah untuk rakyat yang buruk. Allah swt berfirman, “Dan begitulah kami
jadikan pemimpin sebagian orang-orang yang dzalim bagi sebagian lagi,
disebabkan apa-apa yang mereka usahakan”. (QS. Al-An’am: 129)
Allah swt
terkadang menjadikan apa yang menimpa hambaNya adalah balasan bagi amalan yang
diperbuatnya. Pemimpin yang buruk, yang memerintah dengan dzalim, yang
menggunakan kekuasaannya untuk merampas hak rakyat dan berbuat semena-mena
boleh jadi adalah balasan yang Allah segerakan di dunia bagi bangsa yang selalu
berbuat dosa. Semua perkara yang terjadi di dunia ini merupakan ketentuan yang
Allah tetapkan dengan kebijaksaan dan keadilannya.
Oleh karenanya, Kelak di hari
kiamat, yang akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah swt bukanlah mereka
yang dipilih sebagai pemimpin, tapi para pemilih juga sama akan diminta
tanggung jawab.
Nabi saw mengingatkan,
“Barangsiapa yang mengangkat seseorang menjadi pemimpin atas dasar ta’asub
(fanatik buta), padahal di tengah mereka masih ada orang-orang yang diridlai
Allah, maka ia telah berkhianat kepada Allah, RasulNya dan orang-orang yang
beriman”. (HR. al Hakim)
Memilih pemimpin hanya karena
ikatan emosional, tanpa memperhatikan kelayakan dan kriteria yang dikehendaki
Allah dan RasulNya, apalagi hanya iming-iming materi, akan memberatkan
pertanggungjawabannya kelak.
Oleh
karenanya, pilihlah pemimpin yang bersih, jujur,
amanah, cerdas, tegas, bersahaja, merakyat dan lain sebagainya agar kita
selamat dunia dan akhirat. Kalau tidak ada yang seperti itu, paling tidak yang
agak mendekatinya. ---
Warga Negara Indonesia
Seorang Warga Negara Indonesia (WNI) adalah orang yang diakui oleh UU sebagai warga negara Republik Indonesia. Kepada orang ini akan diberikan Kartu Tanda Penduduk, berdasarkan Kabupaten atau (khusus DKI Jakarta) Provinsi, tempat ia terdaftar sebagai penduduk/warga. Kepada orang ini akan diberikan nomor identitas yang unik (Nomor Induk Kependudukan, NIK) apabila ia telah berusia 17 tahun dan mencatatkan diri di kantor pemerintahan. Paspor diberikan oleh negara kepada warga negaranya sebagai bukti identitas yang bersangkutan dalam tata hukum internasional.
Kewarganegaraan Republik Indonesia diatur dalam UU no. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Menurut UU ini, orang yang menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) adalah
- setiap orang yang sebelum berlakunya UU tersebut telah menjadi WNI
- anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah dan ibu WNI
- anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu warga negara asing (WNA), atau sebaliknya
- anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI dan ayah yang tidak memiliki kewarganegaraan atau hukum negara asal sang ayah tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut
- anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah, dan ayahnya itu seorang WNI
- anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNI
- anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNA yang diakui oleh seorang ayah WNI sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 tahun atau belum kawin
- anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya.
- anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui
- anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak memiliki kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya
- anak yang dilahirkan di luar wilayah Republik Indonesia dari ayah dan ibu WNI, yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan
- anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
Selain itu, diakui pula sebagai WNI bagi
- anak WNI yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun dan belum kawin, diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing
- anak WNI yang belum berusia lima tahun, yang diangkat secara sah sebagai anak oleh WNA berdasarkan penetapan pengadilan
- anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah RI, yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan Indonesia
- anak WNA yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh WNI.
Kewarganegaraan Indonesia juga diperoleh bagi seseorang yang termasuk dalam situasi sebagai berikut:
- Anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia, yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan Indonesia
- Anak warga negara asing yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh warga negara Indonesia
Di samping perolehan status kewarganegaraan seperti tersebut di atas, dimungkinkan pula perolehan kewarganegaraan Republik Indonesia melalui proses pewarganegaraan. Warga negara asing yang kawin secara sah dengan warga negara Indonesia dan telah tinggal di wilayah negara Republik Indonesia sedikitnya lima tahun berturut-turut atau sepuluh tahun tidak berturut-turut dapat menyampaikan pernyataan menjadi warga negara di hadapan pejabat yang berwenang, asalkan tidak mengakibatkan kewarganegaraan ganda.
Berbeda dari UU Kewarganegaraan terdahulu, UU Kewarganegaraan tahun 2006 ini memperbolehkan dwikewarganegaraan secara terbatas, yaitu untuk anak yang berusia sampai 18 tahun dan belum kawin sampai usia tersebut. Pengaturan lebih lanjut mengenai hal ini dicantumkan pada Peraturan Pemerintah no. 2 tahun 2007.
Dari UU ini terlihat bahwa secara prinsip Republik Indonesia menganut asas kewarganegaraan ius sanguinis; ditambah dengan ius soli terbatas (lihat poin 8-10) dan kewarganegaraan ganda terbatas (poin 11).