Monday, August 8, 2016

Zaman Neolitikum

Zaman Neolitikum (Peninggalan, Kebudayaan, Kapak Persegi dan Lonjong, Kepercayaan Zaman Batu Muda Neolitikum)

Neolitikum berasal dari kata Neo yang artinya baru dan Lithos yang artinya batu. Neolitikum berarti zaman baru, hasil kebudayaan yang terkenal pada zaman Neolitikum ini adalah jenis kapak persegi dan kapak lonjong. Nama kapak persegi diberikan oleh Van Heine Heldern atas dasar penampang lintangnya yang berbentuk persegi panjang atau trapesium. Masa pleistosen berakhir berganti dengan masa holosen. Hal itu ditandai dengan naiknya permukaan laut sehingga daratan menyempit dan iklim menjadi lebih panas (kering). Seiring dengan pertambahan manusia purba di bumi, wilayah perburuannya pun bertambah sempit. Berburu sudah tidak dapat lagi digunakan sebagai mata pencaharian pokok. Oleh karena itu, mereka berusaha untuk menghasilkan bahan makanan sendiri. Usahanya, yaitu dengan membudidayakan tanaman dan beternak. Pada masa ini berarti manusia purba sudah mengalami peningkatan, yaitu dari pengumpul makanan (food gatherer) menjadi penghasil makanan (food producer).
A. Peninggalan dan Corak Kehidupan Kebudayaan Masyarakat Zaman Neolitikum
Peninggalan zaman neolitikum
    Peralatan yang digunakan pada masa neolitikum sudah diasah sampai halus, bahkan ada peralatan yang bentuknya sangat indah. Peralatan yang diasah pada masa itu adalah kapak lonjong dan kapak persegi. Di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan ada yang telah membuat mata panah dan mata tombak yang digunakan untuk berburu dan keperluan lainnya.Perkembangan penting pada zaman batu muda adalah banyak ditemukannya kapak lonjong dan kapak persegi dengan daerah temuan yang berbeda. Kapak persegi banyak ditemukan di wilayah Indonesia bagian Barat, seperti Sumatra, Kalimantan, Jawa, dan Nusa Tenggara. Adapun kapak lonjong banyak ditemukan di wilayah Indonesia bagian Timur, seperti Sulawesi, Halmahera, Maluku, dan Papua. Berikut adalah gambar dari kapak lonjong dan kapak persegi:

Kapak Persegi dan Kapak Lonjong
     Kapak persegi tersedia dalam berbagai ukuran, ada yang besar dan kecil. Ukuran besar lazim disebut dengan beliung dan fungsinya sebagai cangkul. Adapun yang ukuran kecil disebut dengan Tarah atau Tatah dan fungsinya sebagai alat pahat. Bahan untuk membuat kapak tersebut selain dari batu biasa, juga dibuat dari batu api atau chalcedon. Kemungkinan besar kapak yang terbuat dari calsedon hanya dipergunakan sebagai alat upacara keagamaan, azimat, atau tanda kebesaran.
Perhatikan gambar di bawah untuk membantu memahami bentuk kapak persegi dari chalcedon.
kapak persegi dari chalcedon
      Kapak persegi masuk ke Indonesia melalui jalur barat dan daerah penyebarannya di Indonesia adalah Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Kapak persegi sebetulnya berasal dari daratan Asia. Di Indonesia banyak ditemukan pabrik atau tempat pembuatan kapak tersebut yaitu di Lahat Sumatra Selatan, Bogor, Sukabumi, Karawang, Tasikmalaya, Pacitan serta lereng selatan Gunung Ijen Jawa Timur. Pada waktu yang hampir bersamaan dengan penyebaran kapak persegi, di Indonesia Timur juga tersebar sejenis kapak yang penampang melintangnya berbentuk lonjong sehingga disebut kapak lonjong. Ukuran yang dimiliki kapak lonjong yang besar lazim disebut dengan Walzenbeil dan yang kecil disebut dengan Kleinbeil, sedangkan fungsi kapak lonjong sama dengan kapak persegi. Daerah penyebaran kapak lonjong adalah Minahasa, Gerong, Seram, Leti, Tanimbar, dan Irian. Dari Irian kapak lonjong tersebar meluas sampai di Kepulauan Melanesia sehingga para arkeolog menyebutkan istilah lain dari kapak lonjong dengan sebutan Neolithikum Papua. Selain berkembang kapak persegi dan kapak lonjong, pada zaman Neolithikum juga terdapat barang-barang yang lain seperti perhiasan, gerabah, dan pakaian. Perhiasan yang banyak ditemukan umumnya terbuat dari batu, baik batu biasa maupun batu berwarna atau batu permata atau juga terbuat dari kulit kerang. Adapun gerabah, baru dikenal pada zaman Neolitikum, dan teknik pembuatannya masih sangat sederhana karena hanya menggunakan tangan tanpa bantuan roda pemutar seperti sekarang. Pakaian yang dikenal oleh masyarakat pada zaman Neolithikum dapat diketahui melalui suatu kesimpulan penemuan alat pemukul kayu di daerah Kalimantan dan Sulawesi Selatan. Hal ini berarti pakaian yang dikenal pada zaman Neolithikum berasal dari kulit kayu. Dan, kesimpulan tersebut diperkuat dengan adanya pakaian suku Dayak dan suku Toraja, yang terbuat dari kulit kayu.
Kebudayaan Zaman Neolitikum
    Memasuki tahun 1500 SM Kepulauan Nusantara menerima kedatangan migrasi jenis manusia Malayan mongoloid atau disebut juga Melayu austronesia yang berasal dari kawasan Yunan (Cina
Selatan). Mereka mendominasi wilayah bagian barat Indonesia, sedangkan Australomelanesid tergeser ke arah timur. Kemudian terjadi pembauran antara kedua jenis manusia tersebut. Mereka
memasuki Indonesia melalui dua jalur, yaitu jalur selatan (Yunan–Thailand–Semenanjung Malaka/Malaysia–Sumatra–Jawa–Bali–Lombok–Flores–Sulawesi Selatan) dan jalur timur (Yunan–Vietnam– Taiwan–Maluku–Sulawesi Utara-Papua). Bangsa Melayu austronesia datang dengan membawa kepandaian bercocok tanam di ladang. Tanamannya berupa keladi, labu air, ubi rambat, padi gaga, sukun, pisang, dan kelapa. Sebagai petani dan peternak, mereka memerlukan kebersamaan yang tinggi untuk menebang hutan, membakar semak, menabur/menanam benih, memetik hasil ladang, mendirikan rumah, dan menyelenggarakan upacara. Untuk mengatur kehidupan bersama,
mulai terlihat peran para pemimpin (primus interpares/yang utama dari sesamanya), yaitu Ketua Suku/Ratu/Datuk. Mereka sudah terampil membuat gerabah, anyaman, pakaian, dan bahkan perahu.
1. Gerabah
    Gerabah dibuat dari bahan tanah liat dicampur pasir dengan teknik tangan dikombinasi teknik tatap
sehingga hasilnya masih kasar dan tebal. Hasil-hasil gerabahnya berupa periuk, cawan, piring, dan
pedupaan. Gerabah-gerabah ini berfungsi sebagai tempat makanan, minuman, dan untuk keperluan
upacara. Gerabah zaman ini banyak ditemukan di Kendenglembu, Banyuwangi (Jawa Timur), Kalumpang dan Minanga, Sippaka (Sulawesi Tengah), Danau Poso (Sulawesi Tengah), serta Minahasa (Sulawesi Utara). Berikut ini adalah gambar jenis gerabah yang berasal dari Gilimanuk:
Gerabah Zaman Neolitikum
 2. Anyam-anyaman
    Bahan untuk anyaman dibuat dari bambu, rumput, dan rotan. Teknologinya dengan teknik anyam dan pola geometrik.
Fungsinya sebagai wadah barang-barang rumah tangga.
3. Pakaian
    Berdasarkan temuan alat pemukul kulit kayu di Ampah, Kalimantan Selatan, dan di Kalumpang, Minanga, Sippaka (Poso, Sulawesi Tengah) diduga sudah dikenal pakaian yang dibuat dari tenunan serat kulit kayu. Bahan lain yang dibuat tenunan kain antara lain, serat abaka (sejenis pisang) dan rumput doyo.
4. Perahu/Teknik Membuat Perahu
    Teknik pembuatan perahu masih sederhana. Pembuatan perahu menggunakan bahan sebatang pohon, yaitu benda, meranti, lanang, dan kedondong. Pohon yang telah dipilih sebagai bahan pembuatan perahu penebangannya harus didahului upacara.
Perahu bercadik
 Pembuatan perahu dimulai dari sisi luar. Sesudah terbentuk sisi luar, sisi dalam dikeruk dengan
memperhatikan ujung pasak yang dipakukan dari sisi luar agar ketebalan dinding perahu sama tebal. Agar perahu tidak terbalik, pada sisi perahu dipasang cadik/ katik sebagai penyeimbang. Untuk menggerakkan perahu dapat dipasang layar. Biasanya, jenis layar yang digunakan adalah layar sudu-sudu (sudu = suru dalam bahasa Jawa). Pada saat itu sudah dikenal perdagangan dengan sistem barter atau tukar-menukar. Besar kecilnya nilai barang pengganti ditentukan dan disepakati bersama. Kuat dugaan bahwa pada saat itu sudah dikenal alat penukar berupa kulit kerang yang indah. Bahan-bahan yang ditukar antara lain ramuan hasil hutan; hasil pertanian/peternakan; hasil kerajinan seperti gerabah, beliung, perhiasan, dan perahu; serta garam/ikan laut.

B. Kepercayaan Zaman Neolitikum
    Kepercayaan pada zaman neolitikum ditandai juga denga cara penguburan mayat. Bangsa Melayu austronesia mengenal kepercayaan dan upacara pemujaan kepada arwah nenek moyang atau para leluhur. Para leluhur yang meninggal dikuburkan dengan upacara penguburan.
Ada dua macam cara penguburan sebagai berikut.
1. Penguburan Langsung
    Mayat hanya dikuburkan sekali, yaitu langsung dikubur di dalam tanah atau diletakkan dalam sebuah wadah kemudian dikuburkan di dalam tanah dengan upacara. Cara meletakkan mayat ada dua cara, yaitu membujur dan terlipat/meringkuk. Mayat selalu dibaringkan mengarah ke tempat roh atau
arwah para leluhur (misalkan di puncak gunung). Sebagai bekal dalam perjalanan ke dunia roh, disertakan bekal kubur yang terdiri atas seekor anjing, unggas, dan manik-manik. Contoh penguburan seperti ini adalah penguburan di Anyer (Jawa Barat) dan di Plawangan, Rembang (Jawa Tengah).
2. Penguburan Tidak Langsung
    Penguburan tidak langsung biasa dilakukan di Melolo (Sumba), Gilimanuk (Bali), Lesung Batu (Sumatra Selatan), dan Lomblen Flores (NTT). Cara penguburan tidak langsung, yaitu mula-mula mayat dikubur langsung di dalam tanah tanpa upacara. Setelah diperkirakan sudah menjadi kerangka mayat digali lagi. Kerangka tersebut dicuci, diberi hematit pada persendian kemudian diletakkan dalam tempayan atau sarkofagus. Ada kepercayaan bahwa seseorang yang telah mati itu jiwanya berada di dunia roh dan setiap orang mempunyai tempat yang berbeda. Perbedaan tempatnya berdasarkan pada perbuatan selama masih hidup dan besarnya upacara kematian atau penguburan yang diselenggarakan. Puncak upacara ditandai dengan mendirikan bangunan batu besar (megalith).
Itulah tadi bahasan mengenai zaman neolitikum atau zaman batu muda, semoga kita semakin paham tentang sejarah, yuk baca juga zaman Paleolitikum dan Mesolitikum agar semakin menambah pengetahuan :)

Artikel Terkait