Contoh Makalah Pelajaran Ulumul Qur'an, judul : Makna dan Pengertian ‘Ummi’ Bagi Nabi Muhammad Saw
Arti Ummi secara Bahasa dan
Istilah
Makna Ummi Bagi Rasulullah SAW – Dari sisi bahasa, kata ummi ini
mempunyai banyak arti. Hal ini dapat kita lihat ketika Allah mengungkapkan
kata ummi dalam al-Qur’a’n. Dalam al-Qur’a’n, kata ummi ini
tidak hanya ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW saja, tetapi juga kepada
masyarakat Arab, dan kaum Yahudi.
Kata Ummi, jamaknya ummiyyun (ummiyyin)
artinya orang yang buta huruf, tiada tahu tulis baca.
Secara istilah, ummi adalah
ketidaktahuan baca dan tulis bagi Nabi sebagai salah satu mukjizatnya.
Banyak ahli tafsir yang mengartikan ummi dengan
buta huruf, tetapi beberapa ahli tafsir lainnya berpendapat bahwa ummi bukan
berarti buta huruf, melainkan diartikan sebagai orang yang tidak mendapat
al-Kitab, dan orang yang tidak cakap menulis.
Term ummi terdapat dalam
al-Qur’an Q.S. Al-A’raf (7) : 157 dan 158, yaitu nabiyyi al-Ummiyy (nabi
yang tidak tahu membaca dan menulis), sedang istilah ummiyyin/ummiyyundapat
ditemukan dalam QS. Al-Baqarah (2): 78, QS. Ali ‘imran (3): 20 dan 75 serta QS.
Al-Jumu’ah (62): 2. Adapun yang dimaksud dengan ummiyyin adalah
orang-orang yang tidak tahu membaca dan menulis. Kebanyakan orang-orang Arab
pada masa Rosulullah saw. berkeadaan demikian.
Pendapat Ulama’ Tafsir terhadap “Ummi” Makna
Ummi Bagi Rasulullah SAW
Makna Ummi Bagi Rasulullah SAW – Dalam al-Qur’an kata ummi beserta turunannya diulang dalam al-Qur’a>n sebanyak enam kali. Dua dalam bentuk tunggal, yaitu pada surat al-A’raf ayat 157 dan 158 (keduanya diturunkan di Mekah):
Makna Ummi Bagi Rasulullah SAW – Dalam al-Qur’an kata ummi beserta turunannya diulang dalam al-Qur’a>n sebanyak enam kali. Dua dalam bentuk tunggal, yaitu pada surat al-A’raf ayat 157 dan 158 (keduanya diturunkan di Mekah):
Empat lainnya dalam bentuk jamak, yaitu pada
surat al-Baqarah ayat 78, surat Ali Imran ayat 20 dan 75, serta surat
al-Jumu’ah ayat 2 (keempatnya diturunkan di Madinah) di bawah ini:
Menurut para mufassir, bentuk tunggal ummi ditujukan
kepada Nabi Muhammad SAW dengan diperkuat oleh sabda Nabi sendiri:
إِنَا أُمِّيَة لاَ نَكْتَب وَلاَ
نَحسَب
“Sesungguhnya kita adalah umat yang ummi,
tidak pandai membaca dan berhitung”.
Adapun dalam bentuk jamak yang terdapat pada
surat Ali Imran ayat 20 dan 75 dan surat al-Jumu’ah ayat 2 ditujukan kepada
masyarakat Arab, sedangkan bentuk jamak yang terdapat pada surat al-Baqarah
ayat 78 ditujukan kepada sekelompok Yahudi. Dengan demikian, dalam konteks
al-Qur’an, kata ummi ditujukan kepada tiga obyek di atas.
Sebagaimana disebutkan di muka, para mufassir
tidak sepakat dalam menjelaskan kataummi. Di antara mereka ada yang
mendefinisikannya sebagai buta huruf seperti dikemukakan oleh Rashid Rid}a dan
al-T{abat}aba’i. Pendapat mereka diperkuat oleh penulis kamus berbahasa Arab
seperti Lisan al-‘Arab yang disusun oleh Muhammad ibn Mansur.
Meskipun demikian, kata ummi dalam
literatur tafsir tidak hanya memiliki satu arti di atas. Ada beberapa riwayat
yang mendefinisikannya secara berlainan.
Al-Qasimi umpamanya, menafsirkan kata ummiyyin pada
surat Ali Imran ayat 20 sebagai “kelompok yang tidak memiliki kitab suci” (la
kitaba lahum).
Definisi-definisi lainnya dikemukakan oleh
al-T{abari. Ia mengutip pendapat Ibrahim (dari Mansyur, dari Sufyan, dari Ibn
Mubarak, dari Suwaid bin Nashr, dari al-Mutsanna) yang mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan ummi adalah “orang yang tidak cakap menulis” (مَنْ
لاَيَحْسَنْ أَنْ يَكْتُبَ). Ibnu Zaid mendefinisikannya sebagai “orang yang
tidak membaca al-kitab”. Ada riwayat lain berasal dari Ibnu ‘Abbas yang
menjelaskan bahwa maksud kata ummi dalam al-Qur’a>n yang
berbentuk jamak adalah “sekelompok orang yang tidak membenarkan utusan Allah
dan kitab yang dibawanya”.
Al-Tabari sendiri, dengan mengutip pendapat
al-Nakha’i, menjelaskan ummi dengan “orang yang tidak cakap
menulis”.
Bahwa Rasul saw. adalah seorang ummi merupakan
salah satu bukti kerasulan beliau dalam konteks ini al-Qur’an menegaskan: QS.
Al-Ankabut (29): 48. Betapa tidak, pasti akan ada yang berkata bahwa ayat-ayat
al-Qur’an yang beliau sampaikan, yang redaksi dan isinya sangat mengagumkan itu
serta mengungkap banyak hal-hal yang tidak dikenal pada masanya adalah hasil
bacaan beliau.
Argumen untuk dapat tidaknya Rasul Membaca dan
Menulis (ummi), Makna Ummi Bagi Rasulullah SAW
1) Tidak Bisa Baca Tulis
Makna Ummi Bagi Rasulullah SAW – Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al Quran) sesuatu Kitabpun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu Kitab dengan tangan kananmu; Andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari (mu). (Q.S. al-Ankabut [29]: 48).
Makna Ummi Bagi Rasulullah SAW – Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al Quran) sesuatu Kitabpun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu Kitab dengan tangan kananmu; Andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari (mu). (Q.S. al-Ankabut [29]: 48).
Ayatnya sangat jelas mengatakan bahwa beliau
memang tidak pernah membaca dan tidak pernah menulis. Sehingga tidak ada alasan
sedikit pun bagi kita untuk meragukannya. Allah menjamin bahwa di dalam
al-Qur’an ini memang tidak ada keraguan sedikit pun tentang kebenaran
informasinya. (Lihat Q.S. al-Baqarah [2]: 2).
Di ayat lain, Rasul Allah bahkan disuruh Allah
untuk mengatakan bahwa dirinya memang benar-benar ummi. Yaitu buta
huruf dan tidak kenal tulis menulis.
Katakanlah: “Hai manusia Sesungguhnya Aku
adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit
dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan
dan mematikan, Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, nabi yang ummi
yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan
ikutilah Dia, supaya kamu mendapat petunjuk“.(Q.S. al-A’raf [7]: 158).
Ayat lain menjelaskan dalam surat al-Baqarah
ayat 78:
Dan diantara mereka ada yang buta huruf, tidak
mengetahui Al-Kitab (Taurat), kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya
menduga-duga.
Ayat ini menggambarkan bahwa orang yang
disebut ummi itu adalah orang yang tidak tahu al-kitab alias
lembaran-lembaran bertulis. Yang untuk memahaminya, seorang mesti menguasai
kemampuan membaca.
Dengan kata lain, orang yang disebut ummi adalah
orang yang tidak bisa membaca. Cara memperoleh informasinya tidak lewat tulisan
tetapi lewat lisan saja. Dalam istilah ayat di atas disebut sebagai ‘dongeng’
dari mulut ke mulut.
Karena itu tidak heran di ayat-ayat lain
digambarkan, ketika disampaikan bukti kebenaran secara tertulis berupa
al-Qur’a>n, orang-orang ummi itu sulit menerimanya. Dan
dengan gampang mengatakan bahwa itu hanyalah kebohongan yang diada-adakan.
Dalam al-Qur’an disebutkan kedatangan seorang
Nabi yang ummi (Muhammad saw) didapati di dalam kitab Taurat
dan Injil. Nabi Muhammad saw diutus dalam bangsa ummi(Arab), bukan
hanya untuk bangsa Arab saja, melainkan untuk segenap bangsa, biarpun
sebelumnya ada yang belum pernah berhubungan dengan bangsa Arab.
Juga disebutkan sikap bangsa Yahudi yang mengatakan
tidak perlu bertanggung jawab dan bersikap jujur terhadap bangsa ummi maksudnya
ialah bangsa Arab dan bangsa-bangsa yang bukan Yahudi. Diterangkan pula bahwa
di antara orang-orang keturunan ahli kitab itu ada yang ummi, tidak
tahu membaca dan hanya yang diketahuinya cerita-cerita dongeng dan harapan
kosong.
2) Perintah untuk Membaca
Jadi, Benarlah Muhammad adalah seorang yang ummi -buta huruf- alias tidak bisa baca tulis. Semua itu, ternyata disengaja oleh Allah untuk melancarkan misi kerasulan beliau. Agar tidak ada alasan bagi orang-orang kafir untuk tidak memercayai al-Qur’an sebagai kitab suci yang datang dari Allah.
Jadi, Benarlah Muhammad adalah seorang yang ummi -buta huruf- alias tidak bisa baca tulis. Semua itu, ternyata disengaja oleh Allah untuk melancarkan misi kerasulan beliau. Agar tidak ada alasan bagi orang-orang kafir untuk tidak memercayai al-Qur’an sebagai kitab suci yang datang dari Allah.
Tapi, apakah nabi Muhammad ummi seterusnya?
Ternyata tidak. Ummi itu adalah di masa-masa ketika beliau
belum diangkat menjadi rasul. Semuanya jadi berubah, semenjak beliau diangkat
menjadi rasul dengan turunnya wahyu pertama di gua hira’. Muhammad
berangsur-angsur diajari baca tulis oleh Allah, yang kemudian mengantarkannya
menjadi ilmuwan yang sangat jenius.
1.
Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2.
Dia
Telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3.
Bacalah,
dan Tuhanmulah yang Maha pemurah.
4.
Yang
mengajar (manusia) dengan perantaran kalam.
5.
Dia
mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Seorang yang jelas-jelas ummi,
memperoleh wahyu pertamanya justru disuruh membaca! Apakah makna yang ada di
balik semua itu? Hanya satu: Rosulullah saw. diajari membaca. Kenapa? Karena,
berangsur-angsur beliau akan memperoleh wahyu yang kelak akan dihimpun menjadi
sebuah kitab suci: Al-Qur’an.
3) Diajari Menulis dengan Pena
Makna Ummi Bagi Rasulullah SAW – Bukan hanya diajari membaca, Nabi pun diajari menulis dengan pena oleh Allah. Di wahyu pertama Allah sudah mengindikasikan bahwa Allah mengajari manusia dengan perantaraan pena. Ternyata, itu dilanjutkan di wahyu kedua yang awalnya dimulai dengan ayat pena.
Makna Ummi Bagi Rasulullah SAW – Bukan hanya diajari membaca, Nabi pun diajari menulis dengan pena oleh Allah. Di wahyu pertama Allah sudah mengindikasikan bahwa Allah mengajari manusia dengan perantaraan pena. Ternyata, itu dilanjutkan di wahyu kedua yang awalnya dimulai dengan ayat pena.
Apakah kaitannya antara kegiatan ‘tulis
menulis menggunakan pena’ dengan anggapan terhadap Muhammad yang diolok-olok
gila? Pada zaman itu sangatlah erat. Di kalangan kaum yang ummi,
belajar membaca dan menulis sangatlah dilecehkan.
Kebiasaan orang-orang Arab Quraysh pada waktu
itu lebih mengandalkan daya ingat dalam mencatat berbagai peristiwa. Termasuk
untuk berpidato dan bersyair. Kegiatan tulis menulis kurang dihargai, karena
seakan-akan menunjukkan kelemahan. Bahwa ia adalah orang yang berdaya ingat
lemah, sehingga membutuhkan media tulisan.
Allah mengubah kebiasaan orang Arab jahiliyah
itu secara frontal. Di wahyu pertama Allah memerintahkan nabi untuk membaca,
sedangkan di wahyu kedua Allah bersumpah dengan menyebut pena, dan apa yang
dituliskannya. Sungguh ini sebuah revolusi terhadap peradaban jahiliyah. Dan
kemudian menjadi dasar yang kokoh bagi peradaban modern sampai akhir zaman.
Allah menepis olok-olok mereka dengan janji
bahwa kelak mereka akan melihat, bukan Muhammad yang gila, tetapi orang-orang
yang tidak mengikutinya itulah yang ‘gila’. Karena terbukti kemudian, di
zaman-zaman selanjutnya keahlian baca tulis menjadi tulang punggung peradaban
modern.
4) Nabi Buta Huruf Mengajarkan al Kitab
Kontroversi terbesar dalam memahami ke-ummi-an Nabi adalah kenyataan bahwa beliau bisa mengajarkan al-Kitab. Bagaimana mungkin seorang yang buta huruf bisa mengajarkan tulisan-tulisan yang terdapat dalam suatu kitab?
Kontroversi terbesar dalam memahami ke-ummi-an Nabi adalah kenyataan bahwa beliau bisa mengajarkan al-Kitab. Bagaimana mungkin seorang yang buta huruf bisa mengajarkan tulisan-tulisan yang terdapat dalam suatu kitab?
Sejak beberapa saat setelah turunnya wahyu
pertama, Rosulullah sudah mulai memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk
menuliskan ayat-ayat Qur’an itu di pelepah kurma, batu, atau tulang dan kulit
unta.
Tentu saja kita bisa membayangkan, tidak
mungkin Nabi memercayakan begitu saja penulisan wahyu itu kepada orang lain,
tanpa beliau sendiri mengeceknya.
Jadi, sebenarnya saat itu beliau sudah bisa
membaca, meskipun belum terampil menuliskannya. Beliau sudah bisa
melakukan cross-check terhadap catan-catatan Ali bin Abi Thalib.
Bukan hanya pada bacaannya, melainkan pada tulisannya. Kemampuan nabi terus
berkembang seiring dengan proses pewahyuan.
5) Jawaban bagi yang Ragu
Makna Ummi Bagi Rasulullah SAW – Pertanyaan yang menggelitik kita adalah: kenapa Nabi mesti buta huruf? Bukankah sangat mudah bagi Allah untuk memilih dan menyiapkan nabi yang tidak buta huruf? Yang sudah memiliki kemampuan paripurna sehingga tidak diejek dan dilecehkan oleh orang-orang kafir, Nabi yang datang dengan membawa mukjizat seperti nabi Musa, nabi Sulaiman, Nabi Yusuf, dan Nabi Isa. Pokoknya nabi yang memiliki segala persyaratan seperti yang di inginkan orang-orang yang menentangnya.
Makna Ummi Bagi Rasulullah SAW – Pertanyaan yang menggelitik kita adalah: kenapa Nabi mesti buta huruf? Bukankah sangat mudah bagi Allah untuk memilih dan menyiapkan nabi yang tidak buta huruf? Yang sudah memiliki kemampuan paripurna sehingga tidak diejek dan dilecehkan oleh orang-orang kafir, Nabi yang datang dengan membawa mukjizat seperti nabi Musa, nabi Sulaiman, Nabi Yusuf, dan Nabi Isa. Pokoknya nabi yang memiliki segala persyaratan seperti yang di inginkan orang-orang yang menentangnya.
Dan apabila mereka melihat kamu
(Muhammad), mereka hanyalah menjadikan kamu sebagai ejekan (dengan mengatakan):
“Inikah orangnya yang di utus Allah sebagai Rasul? (Q.S. al-Furqan [25]: 41).
Nabi Muhammad dianggap sebagai Nabi yang tidak
memenuhi persyaratan sebagai seorang Rasul. Para ahli kitab membandingkannya
dengan Nabi Isa yang memiliki mukjizat hebat: bisa menghidupkan orang mati.
Demikian pula Nabi Musa yang memiliki tongkat yang bisa menjadi ular dan
membelah lautan. Nabi Muhammad justru dikenal sebagai orang yang ummi,
tak bisa baca tulis, dan berasal dari kaum yang ummi yang jauh
dari kemajuan peradaban.
(rangkuman)Kalaupun kemudian orang-orang kafir itu tetap tidak percaya
kepada nabi Muhammad sebagai rasul, maka Allah mengingatkan bahwa rasul-rasul
terdahulu pun diperlakukan begitu oleh kaumnya. Karena itu, sekali lagi Allah
mengingatkan untuk tidak ragu. Allah telah menurunkan al Qur’an, kitab yang
paling sempurna kepada beliau. Dan akan mengazab siapa saja yang mengkafirinya. (makalah)
Terkesan ada kebingungan di antara orang-orang
kafir itu. Di satu sisi mereka mengejek Nabi sebagai orang yang tidak bisa baca
tulis, akan tetapi mereka juga heran kepada Nabi bisa mengajarkan isi al-Qur’an
yang menurut mereka memiliki kualitas sastra yang demikian tinggi. Karena itu,
mereka sempat menyebut Rasulullah sebagai penyair.
Tapi kemudian mereka membantahnya sendiri.
Bahwa, tidak mungkin Muhammad bisa membuat syair-syair sebagus itu. Mereka
lantas menuduh Nabi dibantu oleh orang lain. Tetapi, Allah membantahnya dengan
ayat-ayat Qur’an, bahwa itu tidak benar.
Bahkan, bukan hanya memberikan argumentasi
yang logis, Allah juga menantang mereka untuk membuat kitab semacam al-Qur’an.
Tidak usah seluruhnya, cukup sebagian saja. Dalam ayat ini Allah menantang
mereka untuk membuat sepuluh surat saja.
Bahkan mereka mengatakan: “Muhammad Telah
membuat-buat Al Quran itu”, Katakanlah: “(Kalau demikian), Maka datangkanlah
sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah
orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang
orang-orang yang benar”. (QS. Hud [11]: 13).
Jangankan sepuluh surat, kata Allah kemudian,
satu surat pun dijamin tidak akan bisa meniru al-Qur’an. Kenapa? Karena
al-Qur’an bukan buatan nabi Muhammad, melainkan firman Allah yang sempurna.
Tuduhan Orientalisme Terhadap
Al-Qur’an Makna Ummi Bagi Rasulullah SAW
Makna Ummi Bagi Rasulullah SAW – Pada tahun 1927, Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Irak dan mantan guru besar di Universitas Birmingham, Inggris, mengumumkan bahwa “sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan studi kritis terhadap al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani.
Makna Ummi Bagi Rasulullah SAW – Pada tahun 1927, Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Irak dan mantan guru besar di Universitas Birmingham, Inggris, mengumumkan bahwa “sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan studi kritis terhadap al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani.
Mengapa orientalis-missionaris yang satu ini
menyeru demikian? Seruan semacam ini dilatarbelakangi oleh kekecewaan sarjana
Kristen dan Yahudi terhadap kitab suci mereka dan juga disebabkan oleh
kecemburuan mereka terhadap umat Islam dan kitab suci al-Qur’an. Perlu di
ketahui bahwa mayoritas ilmuwan dan cendekiawan Kristen sudah lama meragukan
otentisitas bible. Mereka terpaksa menerima kenyataan pahit bahwa bible yang
ada di tangan mereka sekarang ini terbukti bukan asli alias palsu. Terlalu
banyak campur tangan manusia di dalamnya, sehingga sukar untuk dibedakan mana
yang benar-benar wahyu dan mana yang bukan.
Tentu saja Mingana bukan yang pertama kali melontarkan
seruan semacam itu, dan ia juga tidak sendirian. Jauh sebelum dia, tepatnya
pada tahun 1834 di Leipzig (Jerman), seorang orientalis bernama Gustav Flugel
menerbitkan ‘mushaf’ hasil kajian filologinya. Naskah yang dibuatnya itu ia
namakan Caroni Textus Arabicus. Kemudian muncul Theodor
Noldeke yang ingin merekontruksi sejarah al-Qur’an dalam karyanya Geschichte
des Qorans (1860).
Kemudian pada tahun 1937 datang Arthur Jeffery
yang berambisi membuat edisi kritis al-Qur’an, mengubah Mushaf Utsmani yang ada
dan menggantikannya dengan mushaf baru. Orientalis asal Australia yang pernah
mengajar di American University Cairo dan menjadi guru besar di Columbia
University ini, ingin merestorasi teks al-Qur’an berdasarkan kitab
al-Mashahif karya Ibn Abi Dawud as-Sijistani yang ditengarai
merekam bacaan-bacaan dalam beberapa mushaf tandingan, (rival codices).
Jeffery bermaksud meneruskan usaha Gotthelf Bergstrasser dan Otto Pretzl, dua
orientalis Jerman yang pernah berjibaku mengumpulkan foto lembaran-lembaran
naskah (manuskrip) al-Qur’an dengan tujuan membuat edisi kritis al-Qur’an.
Proyek tersebut gagal karena semua arsipnya di Munich hancur musnah tertimpa
bom saat Perang Dunia Kedua berkecamuk.
Pendapat para orientalis Yahudi dan Kristen
yang sejalan dengan pendapat Nasaruddin Umar dalam memberikan definisi “ummi”
untuk Nabi Muhammad saw.
Menurut mereka, tidak mungkin Nabi Muhammad
tidak dapat membaca dan menulis. Theodore Noldeke, misalnya, menyatakan bahwa
kata “ummi” dalam al-Quran merujuk kepada sebuah masyarakat tanpa wahyu.
Hirshfeld juga menyatakan, Muhammad bisa membaca dan menulis, dan mengerti
aksara Ibrani ketika berkunjung ke Syiria.
Menegaskan pengaruh agama Yahudi kepada
Muhammad, Horovitz berpendapat, bahwa Muhammad salah paham ketika mendengar
kata “ummi” dari Yahudi di Madinah. Menurut Horovitz, Muhammad menyebut
dirinya sebagai “ummi” (dalam surat Al A’raf ayat 157 dan 158) karena
Muhammad berasal dari Arab, bukan dari Israel.
Horovitz manafsirkan kata “ummi” dalam
ayat tersebut sebagai “ummotha-olam”, yakni masyarakat yang tidak diberi
kitab, yang berbeda dengan umat terdahulu yang diberi kitab.
Sanggahan Para Ulama’ Terhadap Hal tersebut,
Ummi
Makna Ummi Bagi Rasulullah SAW – Kata Nasaruddin, profesor Ilmu Tafsir di Universitas Islam Negeri Jakarta, “Saya cenderung memahami kata ummi dalam arti pribumi, mengingat suku dan keluarga nabi Muhammad tidak termasuk golongan pembaca kitab.
Makna Ummi Bagi Rasulullah SAW – Kata Nasaruddin, profesor Ilmu Tafsir di Universitas Islam Negeri Jakarta, “Saya cenderung memahami kata ummi dalam arti pribumi, mengingat suku dan keluarga nabi Muhammad tidak termasuk golongan pembaca kitab.
Menurut Nasaruddin Umar, “ummi” bukanlah
berarti “tidak dapat membaca dan menulis”, sebagaimana yang dipahami para ulama
Islam selama ini. Tapi, tulisnya, makna “ummi” yang benar ialah yang
disebutkan dalam bahasa Ibrani, yakni “pribumi” (native).
Yang mashur sebagai pembaca kitab (qari) pada
waktu itu ialah komunitas Yahudi dan Nashrani. Mereka bukan warga native di
dunia Arab. Jika pemahaman kita seperti ini, Nabi Muhammad tentu bukan sosok
yang belum menganut faham salah satu kitab suci. Karenanya ia dipilih Tuhan
untuk menjadi Nabi dan Rasul. Orang secerdas Nabi sulit dipahami sebagai orang
yang buta huruf atau orang yang tidak diperkenankan untuk membaca dan menulis.”
Demikian uraian Makna dan Pengertian Ummi Bagi Nabi Muhammad Saw